PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL
(Manusia, Sosial, Budaya dan Simbolik)
Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr.
Sabaruddin, M.Si
Disusun
oleh:
Nella Hidayah
11410224/37
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan sebagai suatu investasi ataupun modal negara jangka panjang.
Maksud ungkapan investasi ini mengacu kepada peningkatan dan pengembangan
pendidikan di negara kita, Indonesia. Mengenai hal ini juga sering diungkapkan
oleh orang-orang yang cukup kita kenal seperti, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar
Tanjung dan lain-lain.
Seperti yang telah sering kita dengar bahwa Tujuan Pendidikan Nasional kita
adalah “…berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”. (Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab
II pasal 3). Maka dari itu bukan tidak mungkin untuk mencapai itu semua perlu
penggemblengan pendidikan secara serius.
Dalam pembangunan ekonomi, pendidikan dipandang sebagai investasi dalam
kapital manusia. Dengan investasi, diharapkan akan diperoleh keuntungan,
diantaranya adalah pendidikan yang diperoleh melalui partisipasinya dalam pasar
kerja (Freeman, 1976)
Maka dari itu, apabila dibahas mengenai konsep investasi. Berarti upaya untuk
meningkatkan nilai tambah barang ataupun jasa di kemudian hari dengan
mengorbankan nilai konsumsi sekarang (Cohn, 1979. Psachropoulos, 1988).
Investasi dalam SDM memiliki konsep yang tidak berbeda dengan konsep investasi
manusia yang juga bisa dianggap sebagai suatu entitas yang nilainya bisa
berkembang di kemudian hari melalui suatu proses pengembangan nilai, seperti
peningkatan sikap, perilaku, wawasan, keahlian dan keterampilan manusia. Pengembangan
SDM tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan pada berbagai
jenjang dan jalur.
Terkait dengan pemaparan di atas, dalam makalah ini akan diuraikan mengenai
pendidikan sebagai kapital manusia, sosial, budaya maupun simbolik.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital?
2. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya
dan Simbolik?
C.
Tujuan Penulisan
1. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital?
2. Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya
dan Simbolik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Sebagai Kapital
Sebelum memahami pendidikan sebagai kapital, perlu dipahami dahulu apa arti
dari kapital.
Secara etimologi, kapital berasal dari kata, ”capital”, yang akar
katanya dari kata Latin, caput, berarti “kepala”. Adapun artinya
dipahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan barang, sejumlah
uang dan bunga uang pinjaman (Berger, 1990: 20). “Capital” disini tidak
diterjemahkan sebagai modal seperti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang,
karena seperti yang telah dijelaskan oleh Lawang (2004:3) dalam bukunya “Kapital
Sosial: dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar”, yaitu: pertama,
capital (Inggris) memang berarti modal, boleh dalam bentuk yang biasanya
digunakan untuk belanja barang kapital fisik (physical capital goods)
yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Dalam pengertian ini,
tampaknya tidak ada keberatan berarti yang menyangkut pengertian kapital. Kedua,
dalam bahasa Indonesia orang sering menggunakan istilah “modal dengkul”,
artinya tidak ada uang untuk dijadikan modal bagi belanja barang kapital fisik,
kecuali tenaga orang itu sendiri, dalam pengertian tenaga fisik, juga dalam
pengertian ketrampilan atau gabungan keduanya.
Pendidikan yang berorientasi penting dalam penyiapan Sumber Daya Manusia
yang mumpuni, maka hal ini mengacu kepada konsep Kapital Insani (Human
Capital). Yang mana dalam mengacu konsep tersebut perlu keterampilan
manusia yang dibentuk melalui proses belajar.
B.
Macam Pendidikan sebagai Kapital
1.
Pendidikan sebagai Kapital Manusia
Konsep kapital
manusia (human capital) diperkenalkan oleh Theodore W. Schultz lewat
pidatonya berjudul “Investment in Human Capital” di hadapan para ekonom
Amerika pada 1960, kemudian dipublikasikan melalui jurnal American Economic
Review, pada Maret 1961. Gagasan kapital manusia ini kemudian mendapat sambutan
yang cukup hangat di kalangan para ekonom seperti Bowman, Denison dan Becker.
Kapital manusia yang diajukan Schultz melalui “Investment in Human
Capital” adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui
pendidikan bukan sekedar sebagai suatu kegiatan konsumtif, melainkan suatu
bentuk investasi sumber daya manusia (SDM).
Pendidikan
sebagai suatu sarana pengembangan kualitas manusia, memiliki kontribusi
langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan
keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.
a)
Kapital Manusia
Ace Suryadi
(1999: 52-53) dalam bukunya “Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan”,
mengemukakan bahwa kapital manusia menunjuk pada tenaga kerja yang merupakan
pemegang capital (capital holder) sebagaimana tercermin di dalam
keterampilan, pengetahuan, dan produktivitas kerja seseorang.
Elinor Ostrom (2005: 175) memandang kapital manusia sebagai pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. Robert
M.Z. Lawang merumuskan kapital manusia sebagai kemampuan yang dimiliki
seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman dalam bentuk
pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk melakukan kegiatan tertentu. (2004:10)
Berkaitan dengan kapital manusia, James S. Coleman (2008:373)
istilah kapital juga diungkapkan oleh James tentang kapital fisik.
Menurutnya, kapital fisik yang diciptakan dengan mengubah materi untuk
membentuk alat yang memudahkan produksi, sedangkan kapital manusia diciptakan
dengan mengubah manusia dengan memberikan keterampilan dan kemampuan yang
memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Kapital fisik berwujud
(bentuk materi yang jelas), kapital manusia (tidak berwujud’ keterampilan dan
pengetahuan).
b)
Perkembangan Teori Kapital Manusia
Menurut Adam
Smith (peletak dasar ilmu ekonomi modern), seperti yang dikatakan oleh Suryadi
(1994: 44) kapital manusia terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang diperoleh
semua anggota masyarakat. Kemampuan dapat diperoleh melalui pendidikan atau belajar
sambil bekerja memerlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan.
Biaya suatu pengorbanan ini dikeluarkan untuk memudahkan mencari pekerjaan,
promosi pekerjaan, promosi pekerjaan, serta memperoleh pendapatan yang layak. Heinrich
von Thunen yang juga dipandang sebagai penggagas awal studi kapital manusia,
berargumen bahwa pendidikan tinggi akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan
yang tinggi pula. Dan pada gilirannya akan menciptakan penghasilan tinggi pula.
Kemudian Theodore W. Schultz memberikan batasan yang tegas apa yang disebut
dengan kapital manusia, seperti yang telah disebutkan di atas. Gagasan Schultz
telah memberikan motivasi bagi para ekonom untuk mengembangkan studi lebih
lanjut tentang kapital manusia. Gary S. Becker (1964), misalnya melihat kapital
manusia sebagai nilai yang ditambahkan kepada seorang pekerja ketika pekerja
mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan aset lain yang berguna bagi pemberi
kerja atau perusahaan serta bagi proses produksi dan pertukaran. Jadi,
investasi kapital manusia lewat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
pengalaman pekerja tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan, tetapi juga baik
bagi para pekerja.
Teori kapital manusia, seperti teori yang lainnya, menuai beberapa kritik.
Ace Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang ditujukan pada teori kapital
manusia dan dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yaitu:
1)
Pengaruh Tidak Langsung. Suryadi (1999:
65-66), mendapatkan penelitian Herbert Gintis menemukan bahwa pendidikan
atau latihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi tidak secara langsung
dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan.
2)
Efek Kredesianlisme. Mengutip Ivan Berg,
Suryadi selanjutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya memberikan pengaruh
yang sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja.
3)
Asumsi “Screening Device”. Merujuk
Keneth Arrow, Suryadi (1999: 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang
sebagai screening device, karena pendidikan tidak secara langsung
meningkatkan produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pegawai.
4)
Regularitas. Menurut Suryadi (1996: 67-68),
keteraturan atau regularitas dalam penemuan-penemuan penelitian tentang kapital
manusia tidak dapat digeneralisasikan, karena sangat bergantung pada karakteristik
dari segmen masyarakatnya.
c) Mengapa pendidikan sebagai Kapital Manusia?
Teori kapital
manusia yang berkembang terlihat bahwa pengetahuan, keterampilan, kemampuan,
dan atribut serupa lainnya yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan
suatu kegiatan dalam kehidupannya dapat diperoleh melalui berbagai pendidikan. Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan
atribut lainnya inilah yang disebut dengan kapital manusia.
Melalui pendidikan formal manusia diwujudkan dalam bentuk ijazah
pendidikan, inilah pengakuan terhadap kapital manusia. Pengakuan terhadap
kapital manusia melalui pendidikan nonformal ditunjukkan dengan penerimaan
terhadap sertifikat yang dimiliki. Sedangkan melalui pendidikan informal, dapat
disebut pendidikan sebagai kapital manusia apabila seseorang memililiki suatu
pengetahuan, keterampilan, kemampuan atau atribut lainnya apabila diperlukan
oleh masyarakat, misalnya seseorang yang memiliki keterampilan dalam pengobatan
alternatif dimana masyarakat langsung merasakannya.
2.
Pendidikan sebagai Kapital Sosial
Konsep kapital sosial oleh beberapa ilmuan didefinisikan dengan berbeda
pandangan. Terdapat beberapa kontroversi yang
berkaitan dengan konsep kapital sosial.
a)
Kapital Sosial
Beberapa pengertian yang dibeberapa para ahli tentang kapital sosial antara
lain:
-
Piere Bourdie (1986), mendefinisikan kapital sosial sebagai
sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari
jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terus menerus dalam bentuk
pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain keanggotaan dalam
kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan
kolektif
-
James Coleman (2008:268), merumuskan pengertian kapital
sosial sebagai “seperangkat sumber daya yang inheren dalam hubungan keluarga
dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan
kognitif dan sosial seorang anak”
-
Robert M.Z. Lawang (2004), seorang sosiolog Indonesia
mendefinisikan kapital sosial sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang
dikonstrusikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial
yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau
kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa kapital sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber
daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan
menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual
dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
b)
Kontroversi Pemahaman Kapital Sosial
Kapital sosial, menurut Coleman (1990), memiliki berbagai bentuk,
yaitu: kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif,
hubungan otoritas dan organisasi sosial yang dapat digunakan secara tepat.
Adapaun Pratikno, dkk (2001) menemukan berdasarkan literatu, tiga level
bentuk kapital sosial yaitu nilai, institusi dan mekanisme.
Apa yang dikatakan Coleman dan Pratikno, menurut Portes dilihat
sebagai sumber kapital sosial. Sumber itu sendiri bukan merupakan bentuk
kapital sosial. Portes mengajukan empat sumber kapital sosial yaitu
nilai, solidaritas, resiprositas dan kepercayaan.
Menurut Damsar (2011: 185),batasan kapital sosial sesuai dengan
pendapat sebelumnya dapat dirumuskan yaitu “investasi sosial”, yang meliputi
sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta
kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan
individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital sosial
lainnya. Secara sederhana, kapital sosial adalah investasi sosial dalam
struktur sosial untuk meraih tujuan yang diharapkan.
c) Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Sosial?
Dengan mengikuti pendidikan formal ataupun informal, seseorang dapat
memperoleh segala sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan
norma. Misalnya, ketika seseorang telah menyelesaikan jenjang studinya (SD
sampai PT), maka dia memperoleh predikat sebagai alumni suatu lembaga
pendidikan formal di mana dia belajar. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut
sebagai sumber daya soial, apabila ia mampu mengolahnya dengan menjalin dengan
jaringan sosial sesama alumni, maka ia akan menjadi kapital sosial.
Contoh lain misalnya para alumni UIN/IAIN mendominasi jabatan strategis
dalam kursi Kementrian Agama. Kapital sosial yang diolah sumber daya jaringan
alumni akan bertambah kuat bila orang tersebut mampu pula menciptakan suatu
derajat kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya.
3.
Pendidikan sebagai Kapital Budaya
Budaya merupakan sesuatu hal yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang
(beradab, maju). Sedangkan kebudayaan dalam istilah Antropologi dapat diartikan
sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan
untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah
lakunya. Ataupun kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara mengatasi
masalah-masalah yang dihadapai misalnya dalam masalah kebutuhan biologis, tiap
masyarakat memilih cara yang dianggap paling sesuai sehingga tidak ada dua
masyarakat yang sama kebudayaannya.
Kebudayaan dipengaruhi oleh kontak dengan kebudayaan lain yang dipercepat
oleh perkembangan komunikasi dan transport. Kebudayaan ini memiliki nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat, apakah layak, pantas, baik atau seharusnya.
a)
Kapital Budaya
Pierre Bourdieu yang dikenal sebagai tokoh pencetus studi tentang kapital
budaya. Meskipun Bourdieu, masih sukar menjelaskan, namun terdapat beberapa
pandangan:
Bourdieu sendiri seperti yang dikutip oleh Mahar kapital
budaya sebagai selera bernilai budaya dan pola konsumsi. Menurut Mahar, kapital
budaya mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan dan
bentuk-bentuk bahasa.
Lury (1998) melihat Bourdie membatasi definisi kapital budaya sebagai
kapital pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau
penaksiran nilai seperti apakah suatu karya termasuk “seni” atau “bukan seni”. Penjelasannya dari batasan tersebut, kapital budaya didefinisikan
sebagai kepemilikan kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat pengetahuan
kultural yang menyediakan bentuk konsumsi kultural yang dibedakan secara khusus
dan klasifikasi rumit dari barang-barang kultural simbolis.
b) Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya?
Pendidikan memberikan kontribusi yang cukup besar sebagai modal
pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau
penaksiran nilai. Seperti nilai sopan santun, kerja keras, kejujuran,
kepercayaan dan nilai-nilai lainnya.
Nilai dan norma tersebut dibentuk, dipertahankan
melalui pendidikan formal, terutama dalam jenjang pendidikan dasar baik ketika
taman kanak-kanak maupun sekolah dasar. Nilai dan norma kemudian berasal dari
kelas menengah atas, menjadi mainstream dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya
terdapat sebuah contoh, mengapa memakai sarung dipandang tidak pantas, sopan,
dan elok saat bekerja? Padahal Haji Agus Salim pernah menggunakann sarung saat
sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada saat zaman revolusi dulu. Dan inilah
pendidikan, yang membuat kita berpikir, bersikap, bertindak dan berperilaku
seperti itu. Yang dapat memberikan preferensi kepada kita tentang etika
berperilaku, model-model tentang keberhasilan, cantik dan jelek, indah buruk,
sehat dan sakit.
4.
Pendidikan sebagai Kapital Simbolik
a)
Kapital Simbolik
Menurut pandangan Bourdieu, kapital simbolik adalah suatu bentuk kapital
ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya telah
tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta
bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk kapital ‘material’ yang adalah, pada
hakikatnya sumber efek-efeknya juga. Sesuai dengan pandangan Bourdieu tersebut,
Mahar dkk, berpendapat bahwa kapital simbolik menurut Bourdieu dipandang
sebagai prestise, status dan otoritas. Begitu
juga menurut pandangan para sosiolog lain.
Kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa kapital simbolik merupakan kapital
yang terwujud dalam prestise, status, otoritas dan kehormatan (gengsi) sosial,
yang berasal dari keterampilan mengatur simbol sosial.
Misalkan terdapat sebuah contoh, seseorang yang menerima uang 1 milyar dari
undian berhadiah maka secara mendadak orang tersebut tergolong ekonomi atas.
Namun orang ini tidak serta merta dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki
kapital budaya dan simbolik yang tinggi. Berbeda dengan orang yang memang
berasal dari orang kaya, melalui sosialisasi, memperoleh berbagai jenis
pendidikan, gaya, rasa dan selera tertentu tentang sesuatu. Pembedaan orang
dalam pendidikan, gaya, dan selera tertentu tentang sesuatu (makanan, pakaian,
perabotan rumah tangga, musik, dan lain-lain), pada gilirannya, memberi dampak
terhadap perbedaan orang dalam prestise, status, otoritas dan kehormatan
(gengsi) sosial.
Secara sederhana, keterampilan mengatur simbol sosial tidak dapat segera diperoleh
seseorang ketika dia mendapatkan kapital ekonomi yang tinggi, kerena
keterampilan ini diperoleh melalui proses yang panjang melalui pendidikan atau
reproduksi sosial lainnya.
b) Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Simbolik?
Kemampuan mengatur simbol seseorang berbeda menurut prestise, status,
otoritas dan kehormatan sosial. Kemampuan ini tidak diperoleh sejak lahir
tetapi di dapat melalui pendidikan formal dan pendidikan norformal serta
reproduksi lainnya seperti pendidikan informal lainnya seperti dalam keluarga. Kemampuan
dalam meraih prestise, status, otoritas dan kehormatan menguntungkan kelas
menengah atas, sebab pendidikan yang dimasuki oleh anggota kelas menengah atas
ternyata baik dari kelas menengah bawah, oleh karena itu kompetisi antara anggota
kelas menengah atas dan bawah berjalan tidak seimbang.
Hubungan antara
kapital manusia, sosial, budaya dan simbolik dalam dunia Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua
kapital yang ada baik kapital manusia, sosial, budaya maupun simbolik. Selain
sebagai agen sosialisasi pendidikan, juga berperan sebagai agen hegemoni dalam
kapital budaya dan kapital simboliik. Dengan demikian, pendidikan menjadi
simpul dari pertemuan antara kesemua kapital yang ada.
Jenis
Kapital
|
Atribut
|
Peranan
Pendidikan
|
Manusia
|
Pengetahuan,
keterampilan, kemampuan, dan atribut serupa lainnya
|
Agen Sosialisasi
|
Sosial
|
Jaringan
alumni, kepercayaan, dan kerja sama
|
Agen Sosialisasi
|
Budaya
|
Kompetensi atau pengetahuan kultural
|
Agen Sosialisasi dan Hegemoni
|
Simbolik
|
Kemampuan mengatur simbol
|
Agen Sosialisasi dan Hegemoni
|
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan sebagai kapital mengacu kepada Kapital Manusia (Human Capital) yang berhubungan dengan humanitas. Dimana kapital insani merupakan
investasi jangka panjang menyangkut keterampilan manusia yang dibentuk melalui
proses belajar.
Pendidikan sebagai Kapital Manusia berarti pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, dan atribut serupa lainnya yang diperoleh seseorang, dan inilah yang
disebut dengan kapital manusia. Pendidikan sebagai Kapital Sosial berarti
sebagai investasi sosial, yang digunakan untuk mencapai tujuan individual
dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya. Pendidikan
sebagai Kapital Budaya maksudnya pendidikan yang memberikan kontribusi yang
cukup besar sebagai modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk
membuat pembedaan atau penaksiran nilai.
Kemudian pendidikan sebagai kapital simbolik berarti pendidikan yang
memberikan kemampuan mengatur simbol seseorang baik menurut prestise, status,
otoritas maupun kehormatan sosial, dan simbol-simbol setiap orang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. Pendidikan untuk
Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing
Tinggi. 2009. Jakarta: Gramedia
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan. 2011.
Jakarta: Kencana
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. 1995. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan Fakultas
Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan bagian 2: Ilmu Pendidikan Praktis. 2007. Bandung: PT
Imperial Bhakti Utama,
Mohammad
Ali, Pendidikan untuk Pembangunan
Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (Jakarta:
Gramedia, 2009), hal. 189
Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP, UPI, Ilmu
dan Aplikasi Pendidikan bagian 2: Ilmu Pendidikan Praktis (Bandung:
PT Imperial Bhakti Utama, 2007), hal. 287
S. Nasution, Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara,1995), hal. 62