Sabtu, 21 Desember 2013

PENDIDIKAN MURAH UNTUK RAKYAT

Kira-kira apa yang ada di benak kalian nih, ketika mendengar ataupun melihat tulisan di atas?? Harapan/impian/tujuan (sama aja sih..:)) . Nah, inilah sebuah kalimat yang cukup Klasik untuk dibicarakan di era ini. Kenapa? Pada era 80an sebenarnya telah banyak dibicarakan mengenai Pendidikan murah untuk Rakyat.  Istilah Rakyat disini jangan disalah artikan sebagai orang-orang yang miskin/kecil, tetapi warga Indonesia yang memang belum berkesempatan menduduki jabatan di pemerintahan Indonesia.
Sedikit dari tulisan saya inilah yang kiranya menjadi hasil Seminar Nasional yang baru saja saya ikuti dengan tema Pendidikan Murah untuk Rakyat (Sabtu, 21 Desember 2013 di Convention Hall di kampus tercinta UIN Sunan Kalijaga), dengan pembicara yang luar biasa, Prof. Dr. Wuryadi (Ketua Dewan Pendidikan YK), Hairus Salim (Direktur Yayasan LKiS) dan Agus Suyatno (Pengamat Pendidikan). 
Istilah Pendidikan Murah untuk Rakyat ini lebih tepatnya apabila disebut dengan Pendidikan Kritis. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Hairus bahwa dengan pendidikan murah belum tentu pendidikan yang diperoleh berkualitas. Walaupun memang kita sangat menginginkan Pendidikan yang murah dan berkualitas. Pendidikan Kritis seperti yang dikatakan tadi merupakan sebuah konsep pendidikan yang dicetuskan oleh Paulo Freire, yang cukup menentang pendidikan konvensional. Pendidikan Kritis ini juga mengedepankan masalah sosial. Tidak hanya memberikan materi kepada peserta didik. Berpijak dari pendidikan, di Indonesia belum ada pemimpin yang benar-benar banyak membahas dan memperhatikan masalah pendidikan. Atau singkatnya Pembangunan di Indonesia lebih mengedepankan masalah Politik, Ekonomi dan sebagainya. Panglima pembangunan yang digunakan adalah dalam hal politik maupun ekonomi. Padahal apabila dengan berlandaskan Pendidikan, mungkin Indonesia akan menjadi negara yang  lebih baik daripada masa sekarang. Lalu bagaimana dengan Pendidikan Murah untuk Rakyat? Banyak kita tahu bahwa pendidikan yang mahal dan berkualitas lebih banyak di'konsumsi' oleh mereka yang kaya. Sedangkan bagi mereka yang miskin lebih baik memperoleh pendidikan yang murah namun tidak berkualitas. Dan mungkin inilah yang menjadi pe-er untuk kita sebagai generasi penerus, menjadikan Pendidikan sebagai Panglima dalam pembangunan Indonesia 

Kamis, 19 Desember 2013

Amalan




Barang siapa mau membaca wirid ini dengan rutin,insya Allah semua hajatnya akan dikabulkan oleh Allah.Dan wirid ini lebih utama dibaca tiap selesai shalat tahajjud.

      Inilah wiridnya    :

    WIRID IMAM AL GHAZALI
  1. Hari Ahad membaca,Yaa hayyu yaa qoyyuum’’ 1000 kali 
  2.  Hari Senin membaca,Laa haula wa laa quwwata illa bllahil’aliyyil azhiim” 1000 kali 
  3.  Hari Selasa membaca,Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammad” 1000 kali
  4. Hari Rabu membaca,’’Astaghfirullahal azhiim” 1000 kali  
  5.  Hari Kamis membaca,Subhanallahil azhiim’’ 1000 kali 
  6. Hari Jumat membaca,Yaa Allah” 1000 kali 
  7.  Hari Sabtu membaca,Laa ilaaha illallah” 1000 kali

Minggu, 15 Desember 2013

Makalah Sosiologi Pendidikan _Pendidikan Kapital



PENDIDIKAN SEBAGAI KAPITAL (Manusia, Sosial, Budaya dan Simbolik)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan
Dosen Pengampu: Dr. Sabaruddin, M.Si







                                                                Disusun oleh:
                                                               Nella Hidayah
                                                                11410224/37

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan sebagai suatu investasi ataupun modal negara jangka panjang. Maksud ungkapan investasi ini mengacu kepada peningkatan dan pengembangan pendidikan di negara kita, Indonesia. Mengenai hal ini juga sering diungkapkan oleh orang-orang yang cukup kita kenal seperti, Jusuf Kalla, Amien Rais, Akbar Tanjung dan lain-lain.[1]
Seperti yang telah sering kita dengar bahwa Tujuan Pendidikan Nasional kita adalah “…berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. (Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3). Maka dari itu bukan tidak mungkin untuk mencapai itu semua perlu penggemblengan pendidikan secara serius.
Dalam pembangunan ekonomi, pendidikan dipandang sebagai investasi dalam kapital manusia. Dengan investasi, diharapkan akan diperoleh keuntungan, diantaranya adalah pendidikan yang diperoleh melalui partisipasinya dalam pasar kerja (Freeman, 1976)[2]
Maka dari itu, apabila dibahas mengenai konsep investasi. Berarti upaya untuk meningkatkan nilai tambah barang ataupun jasa di kemudian hari dengan mengorbankan nilai konsumsi sekarang (Cohn, 1979. Psachropoulos, 1988). Investasi dalam SDM memiliki konsep yang tidak berbeda dengan konsep investasi manusia yang juga bisa dianggap sebagai suatu entitas yang nilainya bisa berkembang di kemudian hari melalui suatu proses pengembangan nilai, seperti peningkatan sikap, perilaku, wawasan, keahlian dan keterampilan manusia. Pengembangan SDM tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan pada berbagai jenjang dan jalur.[3] 
Terkait dengan pemaparan di atas, dalam makalah ini akan diuraikan mengenai pendidikan sebagai kapital manusia, sosial, budaya maupun simbolik.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya dan Simbolik?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital?
2.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan sebagai Kapital Manusia, Sosial, Budaya dan Simbolik?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Sebagai Kapital
Sebelum memahami pendidikan sebagai kapital, perlu dipahami dahulu apa arti dari kapital.
Secara etimologi, kapital berasal dari kata, ”capital”, yang akar katanya dari kata Latin, caput, berarti “kepala”. Adapun artinya dipahami, pada abad ke-12 dan ke-13, adalah dana, persediaan barang, sejumlah uang dan bunga uang pinjaman (Berger, 1990: 20). “Capital” disini tidak diterjemahkan sebagai modal seperti kelaziman yang dilakukan oleh banyak orang, karena seperti yang telah dijelaskan oleh Lawang (2004:3) dalam bukunya “Kapital Sosial: dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar”, yaitu: pertama, capital (Inggris) memang berarti modal, boleh dalam bentuk yang biasanya digunakan untuk belanja barang kapital fisik (physical capital goods) yang memungkinkan suatu investasi dapat berjalan. Dalam pengertian ini, tampaknya tidak ada keberatan berarti yang menyangkut pengertian kapital. Kedua, dalam bahasa Indonesia orang sering menggunakan istilah “modal dengkul”, artinya tidak ada uang untuk dijadikan modal bagi belanja barang kapital fisik, kecuali tenaga orang itu sendiri, dalam pengertian tenaga fisik, juga dalam pengertian ketrampilan atau gabungan keduanya.[4]
Pendidikan yang berorientasi penting dalam penyiapan Sumber Daya Manusia yang mumpuni, maka hal ini mengacu kepada konsep Kapital Insani (Human Capital). Yang mana dalam mengacu konsep tersebut perlu keterampilan manusia yang dibentuk melalui proses belajar.
B.     Macam Pendidikan sebagai Kapital
1.    Pendidikan sebagai Kapital Manusia
Konsep kapital manusia (human capital) diperkenalkan oleh Theodore W. Schultz lewat pidatonya berjudul “Investment in Human Capital” di hadapan para ekonom Amerika pada 1960, kemudian dipublikasikan melalui jurnal American Economic Review, pada Maret 1961. Gagasan kapital manusia ini kemudian mendapat sambutan yang cukup hangat di kalangan para ekonom seperti Bowman, Denison dan Becker.
Kapital manusia yang diajukan Schultz melalui “Investment in Human Capital” adalah bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan sekedar sebagai suatu kegiatan konsumtif, melainkan suatu bentuk investasi sumber daya manusia (SDM).
Pendidikan sebagai suatu sarana pengembangan kualitas manusia, memiliki kontribusi langsung terhadap pertumbuhan pendapatan negara melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja.[5]
a)      Kapital Manusia
Ace Suryadi (1999: 52-53) dalam bukunya “Pendidikan, Investasi SDM, dan Pembangunan”, mengemukakan bahwa kapital manusia menunjuk pada tenaga kerja yang merupakan pemegang capital (capital holder) sebagaimana tercermin di dalam keterampilan, pengetahuan, dan produktivitas kerja seseorang.
Elinor Ostrom (2005: 175) memandang kapital manusia sebagai pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan. Robert M.Z. Lawang merumuskan kapital manusia sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman dalam bentuk pengetahuan dan keterampilan yang perlu untuk melakukan kegiatan tertentu. (2004:10)[6]
Berkaitan dengan kapital manusia, James S. Coleman (2008:373) istilah kapital juga diungkapkan oleh James tentang kapital fisik. Menurutnya, kapital fisik yang diciptakan dengan mengubah materi untuk membentuk alat yang memudahkan produksi, sedangkan kapital manusia diciptakan dengan mengubah manusia dengan memberikan keterampilan dan kemampuan yang memampukan mereka bertindak dengan cara-cara baru. Kapital fisik berwujud (bentuk materi yang jelas), kapital manusia (tidak berwujud’ keterampilan dan pengetahuan).
b)    Perkembangan Teori Kapital Manusia
Menurut Adam Smith (peletak dasar ilmu ekonomi modern), seperti yang dikatakan oleh Suryadi (1994: 44) kapital manusia terdiri atas kemampuan dan kecakapan yang diperoleh semua anggota masyarakat. Kemampuan dapat diperoleh melalui pendidikan atau belajar sambil bekerja memerlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh yang bersangkutan. Biaya suatu pengorbanan ini dikeluarkan untuk memudahkan mencari pekerjaan, promosi pekerjaan, promosi pekerjaan, serta memperoleh pendapatan yang layak. Heinrich von Thunen yang juga dipandang sebagai penggagas awal studi kapital manusia, berargumen bahwa pendidikan tinggi akan menghasilkan kemampuan dan keterampilan yang tinggi pula. Dan pada gilirannya akan menciptakan penghasilan tinggi pula.   
Kemudian Theodore W. Schultz memberikan batasan yang tegas apa yang disebut dengan kapital manusia, seperti yang telah disebutkan di atas. Gagasan Schultz telah memberikan motivasi bagi para ekonom untuk mengembangkan studi lebih lanjut tentang kapital manusia. Gary S. Becker (1964), misalnya melihat kapital manusia sebagai nilai yang ditambahkan kepada seorang pekerja ketika pekerja mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan aset lain yang berguna bagi pemberi kerja atau perusahaan serta bagi proses produksi dan pertukaran. Jadi, investasi kapital manusia lewat peningkatan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman pekerja tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan, tetapi juga baik bagi para pekerja.
Teori kapital manusia, seperti teori yang lainnya, menuai beberapa kritik. Ace Suryadi (1999) menemukan beberapa kritik yang ditujukan pada teori kapital manusia dan dikelompokkan menjadi empat kelompok besar, yaitu:
1)        Pengaruh Tidak Langsung. Suryadi (1999: 65-66), mendapatkan penelitian Herbert Gintis menemukan bahwa pendidikan atau latihan memang penting bagi tenaga kerja, tetapi tidak secara langsung dalam pengembangan kemampuan dan keterampilan.
2)        Efek Kredesianlisme. Mengutip Ivan Berg, Suryadi selanjutnya menemukan bahwa perluasan pendidikan hanya memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap produktivitas tenaga kerja.
3)        Asumsi “Screening Device”. Merujuk Keneth Arrow, Suryadi (1999: 67) menyebutkan bahwa pendidikan dipandang sebagai screening device, karena pendidikan tidak secara langsung meningkatkan produktivitas dan keterampilan lulusan sebagai calon pegawai.
4)        Regularitas. Menurut Suryadi (1996: 67-68), keteraturan atau regularitas dalam penemuan-penemuan penelitian tentang kapital manusia tidak dapat digeneralisasikan, karena sangat bergantung pada karakteristik dari segmen masyarakatnya.
c)      Mengapa pendidikan sebagai Kapital Manusia?
Teori kapital manusia yang berkembang terlihat bahwa pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan atribut serupa lainnya yang diperoleh seseorang yang diperlukan untuk melakukan suatu kegiatan dalam kehidupannya dapat diperoleh melalui berbagai pendidikan. Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan atribut lainnya inilah yang disebut dengan kapital manusia.[7]
Melalui pendidikan formal manusia diwujudkan dalam bentuk ijazah pendidikan, inilah pengakuan terhadap kapital manusia. Pengakuan terhadap kapital manusia melalui pendidikan nonformal ditunjukkan dengan penerimaan terhadap sertifikat yang dimiliki. Sedangkan melalui pendidikan informal, dapat disebut pendidikan sebagai kapital manusia apabila seseorang memililiki suatu pengetahuan, keterampilan, kemampuan atau atribut lainnya apabila diperlukan oleh masyarakat, misalnya seseorang yang memiliki keterampilan dalam pengobatan alternatif dimana masyarakat langsung merasakannya.
2.    Pendidikan sebagai Kapital Sosial
Konsep kapital sosial oleh beberapa ilmuan didefinisikan dengan berbeda pandangan. Terdapat beberapa kontroversi yang berkaitan dengan konsep kapital sosial.
a)      Kapital Sosial
Beberapa pengertian yang dibeberapa para ahli tentang kapital sosial antara lain:
-          Piere Bourdie (1986), mendefinisikan kapital sosial sebagai sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif
-          James Coleman (2008:268), merumuskan pengertian kapital sosial sebagai “seperangkat sumber daya yang inheren dalam hubungan keluarga dan dalam organisasi sosial komunitas serta sangat berguna bagi pengembangan kognitif dan sosial seorang anak”
-          Robert M.Z. Lawang (2004), seorang sosiolog Indonesia mendefinisikan kapital sosial sebagai semua kekuatan sosial komunitas yang dikonstrusikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kapital sosial merupakan investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya.
b)     Kontroversi Pemahaman Kapital Sosial
Kapital sosial, menurut Coleman (1990), memiliki berbagai bentuk, yaitu: kewajiban dan harapan, potensi informasi, norma dan sanksi yang efektif, hubungan otoritas dan organisasi sosial yang dapat digunakan secara tepat. Adapaun Pratikno, dkk (2001) menemukan berdasarkan literatu, tiga level bentuk kapital sosial yaitu nilai, institusi dan mekanisme.
Apa yang dikatakan Coleman dan Pratikno, menurut Portes dilihat sebagai sumber kapital sosial. Sumber itu sendiri bukan merupakan bentuk kapital sosial. Portes mengajukan empat sumber kapital sosial yaitu nilai, solidaritas, resiprositas dan kepercayaan.[8]
Menurut Damsar (2011: 185),batasan kapital sosial sesuai dengan pendapat sebelumnya dapat dirumuskan yaitu “investasi sosial”, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital sosial lainnya. Secara sederhana, kapital sosial adalah investasi sosial dalam struktur sosial untuk meraih tujuan yang diharapkan.
c)      Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Sosial?
Dengan mengikuti pendidikan formal ataupun informal, seseorang dapat memperoleh segala sumber daya sosial seperti jaringan, kepercayaan, nilai dan norma. Misalnya, ketika seseorang telah menyelesaikan jenjang studinya (SD sampai PT), maka dia memperoleh predikat sebagai alumni suatu lembaga pendidikan formal di mana dia belajar. Oleh karena itu, hal ini dapat disebut sebagai sumber daya soial, apabila ia mampu mengolahnya dengan menjalin dengan jaringan sosial sesama alumni, maka ia akan menjadi kapital sosial.
Contoh lain misalnya para alumni UIN/IAIN mendominasi jabatan strategis dalam kursi Kementrian Agama. Kapital sosial yang diolah sumber daya jaringan alumni akan bertambah kuat bila orang tersebut mampu pula menciptakan suatu derajat kepercayaan antara dia dan para alumni lainnya.
3.    Pendidikan sebagai Kapital Budaya
Budaya merupakan sesuatu hal yang mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju). Sedangkan kebudayaan dalam istilah Antropologi dapat diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya. Ataupun kebudayaan dapat dipandang sebagai cara-cara mengatasi masalah-masalah yang dihadapai misalnya dalam masalah kebutuhan biologis, tiap masyarakat memilih cara yang dianggap paling sesuai sehingga tidak ada dua masyarakat yang sama kebudayaannya.[9]
Kebudayaan dipengaruhi oleh kontak dengan kebudayaan lain yang dipercepat oleh perkembangan komunikasi dan transport. Kebudayaan ini memiliki nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, apakah layak, pantas, baik atau seharusnya.
a)      Kapital Budaya
Pierre Bourdieu yang dikenal sebagai tokoh pencetus studi tentang kapital budaya. Meskipun Bourdieu, masih sukar menjelaskan, namun terdapat beberapa pandangan:
Bourdieu sendiri seperti yang dikutip oleh Mahar kapital budaya sebagai selera bernilai budaya dan pola konsumsi. Menurut Mahar, kapital budaya mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan dan bentuk-bentuk bahasa.
Lury (1998) melihat Bourdie membatasi definisi kapital budaya sebagai kapital pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai seperti apakah suatu karya termasuk “seni” atau “bukan seni”. Penjelasannya dari batasan  tersebut, kapital budaya didefinisikan sebagai kepemilikan kompetensi kultural tertentu, atau seperangkat pengetahuan kultural yang menyediakan bentuk konsumsi kultural yang dibedakan secara khusus dan klasifikasi rumit dari barang-barang kultural simbolis.  
b)     Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Budaya?
Pendidikan memberikan kontribusi yang cukup besar sebagai modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai. Seperti nilai sopan santun, kerja keras, kejujuran, kepercayaan dan nilai-nilai lainnya.
Nilai dan norma tersebut dibentuk, dipertahankan melalui pendidikan formal, terutama dalam jenjang pendidikan dasar baik ketika taman kanak-kanak maupun sekolah dasar. Nilai dan norma kemudian berasal dari kelas menengah atas, menjadi mainstream dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya terdapat sebuah contoh, mengapa memakai sarung dipandang tidak pantas, sopan, dan elok saat bekerja? Padahal Haji Agus Salim pernah menggunakann sarung saat sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada saat zaman revolusi dulu. Dan inilah pendidikan, yang membuat kita berpikir, bersikap, bertindak dan berperilaku seperti itu. Yang dapat memberikan preferensi kepada kita tentang etika berperilaku, model-model tentang keberhasilan, cantik dan jelek, indah buruk, sehat dan sakit.
4.      Pendidikan sebagai Kapital Simbolik
a)   Kapital Simbolik
Menurut pandangan Bourdieu, kapital simbolik adalah suatu bentuk kapital ekonomi fisikal yang telah mengalami transformasi dan, karenanya telah tersamarkan, menghasilkan efeknya yang tepat sepanjang, menyembunyikan fakta bahwa ia tampil dalam bentuk-bentuk kapital ‘material’ yang adalah, pada hakikatnya sumber efek-efeknya juga. Sesuai dengan pandangan Bourdieu tersebut, Mahar dkk, berpendapat bahwa kapital simbolik menurut Bourdieu dipandang sebagai prestise, status dan otoritas. Begitu juga menurut pandangan para sosiolog lain.
Kemudian dapat diambil kesimpulan bahwa kapital simbolik merupakan kapital yang terwujud dalam prestise, status, otoritas dan kehormatan (gengsi) sosial, yang berasal dari keterampilan mengatur simbol sosial.
Misalkan terdapat sebuah contoh, seseorang yang menerima uang 1 milyar dari undian berhadiah maka secara mendadak orang tersebut tergolong ekonomi atas. Namun orang ini tidak serta merta dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki kapital budaya dan simbolik yang tinggi. Berbeda dengan orang yang memang berasal dari orang kaya, melalui sosialisasi, memperoleh berbagai jenis pendidikan, gaya, rasa dan selera tertentu tentang sesuatu. Pembedaan orang dalam pendidikan, gaya, dan selera tertentu tentang sesuatu (makanan, pakaian, perabotan rumah tangga, musik, dan lain-lain), pada gilirannya, memberi dampak terhadap perbedaan orang dalam prestise, status, otoritas dan kehormatan (gengsi) sosial.
Secara sederhana, keterampilan mengatur simbol sosial tidak dapat segera diperoleh seseorang ketika dia mendapatkan kapital ekonomi yang tinggi, kerena keterampilan ini diperoleh melalui proses yang panjang melalui pendidikan atau reproduksi sosial lainnya.
b)   Mengapa Pendidikan sebagai Kapital Simbolik?
Kemampuan mengatur simbol seseorang berbeda menurut prestise, status, otoritas dan kehormatan sosial. Kemampuan ini tidak diperoleh sejak lahir tetapi di dapat melalui pendidikan formal dan pendidikan norformal serta reproduksi lainnya seperti pendidikan informal lainnya seperti dalam keluarga. Kemampuan dalam meraih prestise, status, otoritas dan kehormatan menguntungkan kelas menengah atas, sebab pendidikan yang dimasuki oleh anggota kelas menengah atas ternyata baik dari kelas menengah bawah, oleh karena itu kompetisi antara anggota kelas menengah atas dan bawah berjalan tidak seimbang.
Hubungan antara kapital manusia, sosial, budaya dan simbolik dalam dunia Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan penting sebagai agen sosialisasi terhadap semua kapital yang ada baik kapital manusia, sosial, budaya maupun simbolik. Selain sebagai agen sosialisasi pendidikan, juga berperan sebagai agen hegemoni dalam kapital budaya dan kapital simboliik. Dengan demikian, pendidikan menjadi simpul dari pertemuan antara kesemua kapital yang ada.

Jenis Kapital
Atribut
Peranan Pendidikan
Manusia
Pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan atribut serupa lainnya
Agen Sosialisasi
Sosial
Jaringan alumni, kepercayaan, dan kerja sama
Agen Sosialisasi
Budaya
Kompetensi atau pengetahuan kultural
Agen Sosialisasi dan Hegemoni
Simbolik
Kemampuan mengatur simbol
Agen Sosialisasi dan Hegemoni









BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan sebagai kapital mengacu kepada Kapital Manusia (Human Capital) yang berhubungan dengan humanitas. Dimana kapital insani merupakan investasi jangka panjang menyangkut keterampilan manusia yang dibentuk melalui proses belajar.
Pendidikan sebagai Kapital Manusia berarti pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan atribut serupa lainnya yang diperoleh seseorang, dan inilah yang disebut dengan kapital manusia. Pendidikan sebagai Kapital Sosial berarti sebagai investasi sosial, yang digunakan untuk mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya. Pendidikan sebagai Kapital Budaya maksudnya pendidikan yang memberikan kontribusi yang cukup besar sebagai modal pengetahuan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk membuat pembedaan atau penaksiran nilai.
Kemudian pendidikan sebagai kapital simbolik berarti pendidikan yang memberikan kemampuan mengatur simbol seseorang baik menurut prestise, status, otoritas maupun kehormatan sosial, dan simbol-simbol setiap orang berbeda-beda.




DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohammad.  Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi. 2009. Jakarta: Gramedia
Damsar. Pengantar Sosiologi Pendidikan. 2011. Jakarta: Kencana
Nasution, S. Sosiologi Pendidikan. 1995. Jakarta: Bumi Aksara
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan  Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan bagian 2: Ilmu Pendidikan Praktis. 2007. Bandung: PT Imperial Bhakti Utama,




[1]Artikel yang ditulis oleh Iryasman, S.Pd
[2]Mohammad Ali,  Pendidikan untuk Pembangunan Nasional: Menuju Bangsa Indonesia yang Mandiri dan Berdaya Saing Tinggi (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 189
[3]Tim Pengembang Ilmu Pendidikan  FIP, UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan bagian 2: Ilmu Pendidikan Praktis (Bandung: PT Imperial Bhakti Utama, 2007), hal. 287

[4]Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 173
[5]Damsar…hal.177

[6]Damsar…hal 178
[7] Damsar…hal.181
[8]Damsar…hal. 185
[9]S. Nasution,  Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara,1995), hal. 62